04/10/2013. Baharuddin Jusuf Habibie, masih konsisten di jalurnya sebagai salah satu pakar pesawat terbang. Di usianya yang ke-77, mantan Presiden Republik Indonesia yang ketiga ini sekarang aktif di PT Regio Aviasi Industri (RAI), perusahaan perancang pesawat terbang komersil, yang baru-baru ini telah menerima pesanan 100 unit pesawat R80 dari NAM Air, anak perusahaan maskapai Sriwijaya Air.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang perusahaan dan pesawat R80 itu, Deddy Sinaga, Suhendra, Hidayat Setiaji, dan Kustiah dari DetikFinancemewawancarai Habibie di kediamannya, di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, pada Selasa lalu.
Di awal wawancara Habibie sempat memberikan ‘kuliah’ gratis tentang teori fisika di balik teknologi pesawat terbang. Menjelang akhir, dia mengajak kami menikmati kue tradisional misro, yang terbuat dari singkong dan gula merah. Sambil bicara, dua misro dilahapnya. “Semestinya saya tak boleh makan ini,” katanya, terkekeh.
Begitulah cara Habibie mencairkan suasana sehingga tak terasa wawancara di ruangan besar, yang sebagiannya berupa perpustakaan itu, berlangsung sampai lebih dari dua jam. Berikut petikan wawancara bagian pertama (1):
Kabarnya, ide untuk membuat pesawat terbang nasional itu bukan dari Anda?
Memang bukan saya, itu rakyat yang mau. Indonesia itu benua maritim. Kalau di Eropa, Australia, Amerika, kita masih bisa naik kereta api atau bus. Di Indonesia bagaimana? Satu-satunya ya kapal terbang. Ini bukan fantasinya Habibie. Ini menjawab to be or not to be. Bagaimana mau membangun tanpa adanya prasarana ekonomi? Yang penting dalam prasarana ekonomi adalah gerakan manusia, gerakan barang-barang, dan gerakan informasi. Di Indonesia, satu-satunya adalah kapal terbang, dik! Ini bukan idenya Habibie, itu bukan idenya Bung Karno. Itu keyakinan bahwa pendiri bangsa mengetahui betapa pentingnya perhubungan.
Kalau manusia mendirikan perusahaan itu seperti bayi lahir. Perusahaan dibesarkan. Saya mulai industri strategis untuk melawan kemiskinan dan ketidakadilan. Berarti harus menyediakan lapangan kerja, mendidik orang-orang. Saya mulai dengan 20 orang. Waktu kapalnya terbang, industri dirgantara ada 16 ribu orang, industri strategis 48 ribu orang, turn over US$ 10 billion.
Tapi hei, dalam rangka reformasi dihancurin, dibubarin. Saya mau berontak, tapi saya mikir kalau saya berontak bisa perang. Saya mengalah untuk menang. Kalau ada yang mengatakan IMF yang buat begitu, siapa bilang? Periksa saja, siapa yang membubarkan industri strategis. Bukan IMF.
Jadi sekarang posisinya dari bayi lagi? Continue reading B.J. Habibie: Saya Mau Berontak (Bagian 1) →